Pornography
Pornography merupakan jenis kejahatan dengan
menyajikan bentuk tubuh tanpa busana, erotis, dan kegiatan seksual lainnya,
dengan tujuan merusak moral. Dunia cyber selain mendatangkan kemudahan dengan
mengatasi kendala ruang dan waktu, juga telah menghadirkan dunia pornografi
melalui news group, chat rooms dll. Penyebarluasan obscene materials termasuk
pornography, indecent exposure. Pelecehan seksual melalui e-mail, websites atau
chat programs atau biasa disebut Cyber harrassment.
Pornografi berasal dari kata pornÄ“ (“prostitute
atau pelacuran")
dan
graphein (tulisan). Dalam Encarta Referency
Library (Downs: 2005). dinyatakan bahwa pornografi adalah segala sesuatu yang
secara material baik berupa film, surat kabar,
tulisan, foto, atau lain-lainnya, menyebabkan timbulnya atau munculnya hasrat-hasrat
seksual. Pengertian yang sama
dinyatakan
pula dalam
Encyclopedia
Britannica (2004), pornografi adalah
penggambaran perilaku erotik
dalam buku-buku, gambar- gambar, patung-patung, film, dan sebaginya, yang
dapat menimbulkan rangsangan seksual. Dengan demikian, siapa pun yang
menyajikan gambar, tulisan, atau tayangan yang
mengumbar aurat sehingga menimbulkan nafsu atau hasrat-hasrat seksual, memancing
birahi dan erotisme, dengan sendirinya terlibat dalam
perbuatan pornografi.
Dampak
Negatif Pornografi
Pada tahun 1986, komisi
umum pengacara amerika yang menangani pornografi menyimpilkan bahwa pornografi
telah melahirkan adanya hubungan kausal dengan tindakan-tindakan anti social
yang berupa kekerasan seksual. Selanjutnya, komisi ini juga menyimpulkan bahwa
menurunnya aksi pornografi akan dapat melahirkan sejumlah hubungan kausal. Terhadap kekerasan, agresi seksual, dan sikap
negatif, seperti halnya mitos bahwa wanita adalah pemuas nafsu. Suatu
penelitian mengenai pornografi, dengan subjek murid laki-laki, memberikan
dukungan terhadap tesis yang pertama, dan tidak untuk yang kedua. Menurunnya
pornografi tidak serta merta akan menurunkan kekerasan seksual. Meskipun
demikian, penelitian itu secara umum memberikan dukungan terhadap pandangan
bahwa pornografi itu berbahaya dan membahayakan. Sejumlah penelitian yang lain
mengklaim bahwa lebih dari 10% pornografi menggambarkan kekerasan seksual.
Undang-undang
pornografi
R. Soesilo (1988 : 134)
memandang dari aspek hokum pidana materiil, berdasarkan rumusan pasal 282 dan
pasal 283 KUHP jenis perbuatan yang dilarang antara lain: (1) menyiarkan,
mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan dsb, menyiarkan
misalnya memakai surat kabar, majalah, buku, surat selebaran dan lain-lain.
Mempertontonkan artinya diperlihatkan kepada orang banyak, menempelkan artinya
ditempelkan di suatu tempat sehingga kelihatan, (2) membuat, membawa masuk,
mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan dan sebagainya
untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan, (3)
dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan menawarkan dengan
tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh didapat.
Rumusan pornografi pada
UU No 40 tahun 1999 Tentang Pers, Bagian Proyek Peningkatan Publikasi
Pemerintah, Direktorat Publikasi, Ditjen PPG, Deppen RI. Undang-undang RI No 24
Tahun 1997 Tentang Penyiaran, Bagian Proyek Peningkatan Publikasi Pemerintah,
Direktorat Publikasi, Ditjen PPG, Deppen RI, Kode Etika Wartawan Indonesia,
tidak memberikan penjelasan apapun. Undang-undang dank ode etik diatas sekedar
melarang perbuatan-perbuatan seperti : (a) “perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan masyarakat”. (UU Pers); (b) “perbuatan menyiarkan rekaman music dan
lagu dengan lirik mengungkapkan “pornografi” dan “menyiarkan hal-hal yang
bersifat pornografi” (UU Penyiaran); (c) “Wartawan Indonesia tidak menyiarkan
informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak
menyebutkan identitas korban kejahatan susila.” (Kode Etik Wartawan Indonesia).
Larangan serupa terdapat dalam RUU Antipornografi dan Pornoaksi 2006. Sementara
itu, larangan perbuatan di bidang pornografi dalam RUU Antipornografi dan
pornoaksi tahun 2006 terdapat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 23. Pasal-pasal
ini dapat dipilah berdasarkan kelompok perbuatan yang dilarang. Pertama Pasal 4
sampai dengan Pasal 12, memuat larangan membuat tulisan, suara atau rekaman
suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, foto, dan
atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual
(Pasal 4), ketelanjangan (Pasal 5), tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang
menari erotis atau bergoyang erotis(Pasal 6), aktivitas orang yang berciuman bibir
(Pasal 7), aktivitas orang yang melakukan masturbasi atau onani (Pasal 8),
orang dalam hubungan seks atau melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan
seks dengan pasangan berlawanan jenis (Pasal 9 ayat (1)), aktivitas orang dalam
berhubungan seks atau melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks
dengan pasangan sejenis (Pasal 9 ayat (2)), aktivitas orang dalam berhubungan
seks atau aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan orang yang sudah
meninggal dunia (Pasal 9 ayat (3)), aktivitas orang dalam berhubungan seks atau
melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan hewan (Pasal 9
ayat(4)), orang berhubungan seks dalam acara pesta seks (Pasal 10 ayat (1)),
aktivitas orang dalam pertunjukan seks (Pasal 10 ayat (2)), anak-anak yang
melakukan masturbasi, onani dan atau hubungan seks (Pasal 11 ayat (1)),
aktivitas orang yang melakukan hubungan seks atau aktivitas yang mengarah pada
hubungan seks dengan anak-anak (Pasal 11 ayat (2)), bagian tubuh yang sensual
dari orang dewasa melalui media cetak, media massa elektronik dan atau alat
komunikasi media (Pasal 12).
Kedua, Pasal 13 sampai
dengan Pasal 19 memuat larangan menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan,
atau menempelkan tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat
disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto dan atau lukisan yang
mengeksploitasi daya tarik ketelanjangan tubuh melalui media massa cetak, media
massa elektronik dan atau alat komunikasi media (Pasal 13), tubuh atau
bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis melalui
media massa cetak, media massa elektronik dan atau alat komunikasi media (Pasal
14), aktivitas orang yang berciuman bibir melalui media massa cetak, media
massa elektronik dan atau alat komunikasi media (Pasal 15), aktivitas orang
yang melakukan masturbasi atau onani melalui media massa cetak, media massa
elektronik dan atau alat komunikasi media (Pasal 16), aktivitas orang dalam
hubungan seks atau melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan
pasangan berlawanan jenis melalui media massa cetak, media massa elektronik dan
atau alat komunikasi media (Pasal 17 ayat (1)), aktivitas orang dalam hubungan
seks atau melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan
sejenis melalui media massa cetak, media massa elektronik dan atau alat
komunikasi media (Pasal 17 ayat (2)), aktivitas orang dalam hubungan seks atau
melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan cara sadis, kejam,
pemukulan, sodomi, perkosaan, dan cara-cara kekerasan lainnya melalui media
massa cetak, media massa elektronik dan atau alat komunikasi media(Pasal 17
ayat (3)), aktivitas orang dalam hubungan seks atau melakukan aktivitas yang
mengarah pada hubungan seks dengan orang yang sudah meninggal dunia melalui
media massa cetak, media massa elektronik dan atau alat komunikasi media (Pasal
17 ayat (4)), aktivitas orng dalam hubungan seks atau melakukan aktivitas yang
mengarah pada hubungan seks dengan hewan melalui media massa cetak, media massa
elektronik dan atau alat komunikasi media (Pasal 17 ayat (5)), aktivitas orang
berhubungan seks dalam acara pesta seks (Pasal 18 ayat (1)), aktivitas orang dalam pertunjukkan seks
(Pasal 18 ayat (2)), anak-anak yang melakukan masturbasi, onani, dan atau
hubungan seks (Pasal 19 ayat (3)), aktivitas orang yang melakukan hubungan seks
dengan anak-anak (Pasal 19 ayat (4)), aktivitas orang dalam hubungan seks atau
melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan anak-anak dengan
cara sadis, kejam, pemukulan, sodomi, perkosaan, dan cara-cara kekerasan
lainnya melalui media massa cetak, media massa elektronik dan atau alat
komunikasi media (Pasal 19 ayat (5)).
Ketiga, larangan
perbuatan menjadikan diri sendiri atau orang lain sebagai model atau objek
pembuatan tulisan, suara atau rekaman film atau yang dapat disamakan film,
syair lagu, puisi, gambar, foto dan atau lukisan yang mengeksploitasi daya
tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa, ketelanjangan tubuh
dan atau daya tarik tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis
atau bergoyang erotis, aktivitas orang berciuman bibir, aktivitas orang yang
melakukan masturbasi atau onani, orang yang berhubungan seks atau melakukan
aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan berlawanan jenis,
pasangan sejenis, orang yang telah meninggal dunia dan atau dengan hewan (Pasal
20). Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa anak-anak menjadi model atau
objek pembuatan tulisan, suara atau rekaman suara, film, atau yang dapat
disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto dan atau lukisan yang
mengeksploitasi aktivitas anak-anak untuk melakukan masturbasi, onani dan atau
hubungan seks (Pasal 21).
Keempat, setiap orang
dilarang membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan karya seni yang mengandung
sifat di media massa cetak, media massa elektronik, atau alat komunikasi media,
yang berada di tempat-tempat umum yang bukan dimaksudkan sebagai tempat
pertunjukan karya seni (Pasal 22). Setiap orang dilarang membeli barang
pornografi dan atau jasa pornografi tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan
Undang-Undang ini (Pasal 23). Setiap orang dilarang menyediakan dana bagi orang
lain untuk melakukan kegiatan dan atau pameran pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 sampai Pasal 23 (Pasal 24 ayat (1)). Setiap orang dilarang
menyediakan tempat bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornografi dan atau
pameran pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 23
(Pasal 24 ayat (2)). Setiap orang dilarang menyediakan peralatan dan atau
perlengkapan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan pornografi dan atau
pameran pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 23
(Pasal 24 ayat (3)).
Cara
Menghindari Pornografi
Menurut seorang
kriminolog yang juga sosiolog asal Perancis, Gabriela Tarde (1802-1904), bahwa
manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang bersifat individualis, namun
berkata adanya kemampuan untuk meniru, manusia dapat menjalin interaksi sosial.
Menurut Tarde, masyarakat adalah hasil dari peniruan yang dilakukan oleh
individu-individu yang berlangsung terus-menerus. Karena meniru juga merupakan
salah satu bentuk kegiatan belajar mengikuti apa yang dilakukan oleh orang
lain, maka oleh berbagai ahli psikologi, tindakan meniru dipandang bukan
sebagai ciri-ciri pembawaan alami seorang manusia. Namun demikian, tindakan
meniru yang dilakukan terus menerus atas suatu objek, misalnya dalam
pornografi, akan menghasilkan kepribadian kedua yang berbeda dengan watak asli
yang dimiliki orang tersebut. Pornografi yang dikonsumsi terus-menerus akan
dapat mempercepat proses pembentukan kepribadian kedua yang menyimpang dari
watak asli yang sebenarnya dimiliki oleh seseorang.
Menurut teori symbolic
interaction, perilaku merupakan produk dari symbol-symbol social yang
dikomunikasikan antar individu. Dengan symbol-symbol tersebut individu dapat
memahami realitas sosial. Contohnya dapat kita lihat dalam gaya berpakaian
seorang wanita. Seorang wanita dapat dengan leluasa menemukan jati dirinya yang
dipenuhi keinginan untuk tampil menonjol dari sisi sensualitas dengan memilih
gaya busana yang sebenarnya tidak sesuai dengan kepribadiannya. Namun demikian
masyarakat telah menganggap hal-hal semacam itu sebagai sesuatu yang biasa dan
wajar. Penerimaan yang wajar atas sensualitas yang ditunjukkan oleh wanita
tersebut menunjukkan adanya pergeseran symbol-symbol kesakralan. Padahal dengan
simbol-simbol tersebut, jati diri dan konsep karakter seseorang dibangun.
Menurut teori symbolic
interaction, “We pick up our own self-concept from our perspective of what
others think about us” (kita membangun konsep diri sendiri dari persepsi kita
terhadap apa yang kira-kira dipikirkan oleh orang lain tentang diri kita).
Berdasarkan pendekatan ini, kita akan menjadi tidak memiliki perasaan bersalah
untuk menikmati pornografi apabila lingkungan sekitar kita telah menganggapnya
sebagai perbuatan yang biasa-biasa saja. Jika suatu kelompok masyarakat telah
terbiasa mengalami pornografisasi, maka mereka akan cenderung memiliki perilaku
yang sama terhadap pornografi yang permisif.
Menurut penilitian
psikolog Arthur W.Comb, Fred Richards, dan Anne Cohen Richards, “People who
have similar experience tend to have common characteristic in their phenomenal
fields and as a result, show commotendencies in their behavior”, artinya :
orang-orang yang memiliki pengalaman yang serupa akan cenderung mempunyai
karakteristik umum yang sama dalam fenomena keseharian mereka, dan sebagai
hasilnya, secara umum menunjukkan, tendensi-tendensi yang sama dengan perilaku
mereka. Menghadapi realitas masyarakat kita yang cenderung mulai permisif
terhadap pornografi, ada beberapa gagasan yang mengusulkan dijadikannya Syariat
agama Islam sebagai solusi. Tawaran yang sedang dalam pertimbangan ini
memerlukan peran serta seluruh bangsa untuk penerapannya. Meskipun sampai saat
ini, hal tersebut belum terlaksana, ada sisi yang tak kalah penting dari norma
hukum yang dapat diperankan oleh aturan-aturan agama, yakni internalisasi
pornografi sebagai dosa yang harus dihindari. Untuk mendukung proses ini,
fungsi dakwah dan usaha saling mengingatkan antar umat beragama haruslah selalu
ditingkatkan, terutama melalui keteladanan. Untuk mengembangkan metode ini,
pakar-pakar agama kiranya dapat membahas dan mengupasnya lebih mendalam.
Dari teori-teori diatas
dapat disintesa bahwa perbuatan meniru hal-hal yang melanggar nilai-nilai
agama, Negara, norma-norma, dan aturan-aturan. Tidak boleh sekali-kali
dilakukan karena akan berdampak pada kepribadian seseorang dalam bertingkah
laku yang cenderung negatif.
0 komentar: