Cyber Law



Cyberlaw merupakan hukum yang biasanya digunakan pada dunia maya (cyber) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Atau cyberlaw dapat diartikan dengan suatu aspek hukum yang batasan ruang lingkupnya hanya terdapat pada setiap aspek yang berhubungan dengan suatu kelompok atau perorangan atau subjek hukum lain yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi jaringan internet yang dapat dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber (Sitompul, 2012).
Secara umum, cyber law dapat diartikan sebagai suatu hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi. Dalam penerapannya kadangkala cyber law mengalami permasalahan dalam hal pembuktian dan penegakan hukum, hal ini dikarenakan ketidakjelasan batas wilayah hukum dalam dunia cyber sehingga suatu perbuatan melawan hukum dapat terjadi pada wilayah yang sangat berbeda dengan dimana pelaku itu berada.
Berkaitan dengan cyberlaw yang merupakan aspek dari suatu hukum. Maka disini hukum merupakan bagian paling penting, karena hukum pada prinsipnya sebagai pengatur perilaku seseorang dan kelompok masyarakat, dimana pasti akan ada suatu sanksi bila seseorang atau kelompok masyarakat tersebut melanggarnya.
Adapun alasan kenapa cyberlaw memang dibutuhkan, terutama dalam berinteraksi lewat internet adalah karena masyarakat yang ada di dunia maya sebenarnya merupakan masyarakat yang berasal dari dunia nyata di dunia ini yang memiliki kepentingan, kebutuhan dan interaksi melalui suatu jaringan internet yang dapat berhubungan secara luas kemanapun dan dimanapun. Alasan yang lain adalah walaupun terjadi di dunia maya, namun transaksi yang dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat tersebut akan memiliki pengaruh pada dunia nyata (Sitompul, 2012).

Tujuan Cyberlaw
Cyberlaw sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan tindak pidana. Cyberlaw akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.

Cyberlaw-pun memiliki ruang lingkup (Rosenoer, 1997), diantaranya :
1.      Cyberlaw yang mengatur tentang hak cipta (copy right).
2.      Cyberlaw yang mengatur tentang hak merk (trademark).
3.      Cyberlaw yang mengatur tentang pencemaran nama baik (defamation).
4.      Cyberlaw yang mengatur tentang fitnah, penistaan, dan penghinaan (hate speech).
5.      Cyberlaw yang mengatur tentang serangan terhadap fasilitas komputer (hacking, viruses, illegal access).
6.      Cyberlaw yang mengatur tentang pengaturan sumber daya internet seperti IP-Address, domain name, dll.
7.      Cyberlaw yang mengatur tentang kenyamanan individu (privacy)
8.      Cyberlaw yang mengatur tentang prinsip kehati-hatian (duty care)
9.      Cyberlaw yang mengatur tentang tindakan kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat.
10.  Cyberlaw yang mengatur tentang isu prosedural, seperti yuridiksi, pembuktian, penyelidikan, dll.
11.  Cyberlaw yang mengatur tentang kontrak atau transaksi elektronik dan tanda tangan digital.
12.  Cyberlaw yang mengatur tentang pornografi.
13.  Cyberlaw yang mengatur tentang pencurian melalui internet.
14.  Cyberlaw yang mengatur tentang perlindungan konsumen.
15.  Cyberlaw yang mengatur tentang pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian seperti e-commerce, e-government, e-education, dll.

Cyber law dapat diklasifikasikan sebagai ketentuan hukum yang berbeda dengan ketentuan hukum lain karena memiliki multi aspek yang dapat menguntungkan masyarakat dalam komunikasi yang mudah dengan menggunakan informasi elektronik. Namun di sisi lain dapat merugikan karena hukum yang terkait belum mengatur secara jelas, dan belum cukup mampu memfungsikan dirinya sebagai sarana ketertiban.
Dalam peninjauan terhadap cyber law, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan :
a.       Kriminalisasi cyber crime. Dampak negatif dari kejahatan di dunia cyber ini sudah banyak terjadi di Indonesia, walaupun demikian perangkat peraturan yang ada saat ini masih belum cukup kuat menjerat pelaku dengan sanksi yang tegas. Menurut Lacassague bahwa masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Betapapun kita mengetahui banyak tentang berbagai faktor kejahatan yang ada dalam masyarakat, namun yang pasti adalah bahwa kejahatan merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang terus mengalami perkembangan sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
b.      Aspek pembuktian, masih banyak pendekatan antara akademisi dengan praktisi mengenai hal ini. Untuk aspek perdata, pada dasarnya hakim dapat bahkan dituntut untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Namun untuk aspek pidana tidak demikian karena asas legalitas menetapkan tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana apabila tidak ada aturan hukum yang mengaturnya. Untuk itu diperlukan adanya dalil yang kuat sehingga antara akademisi dan praktisi tidak perlu terjadi perdebatan lagi.
c.       Aspek Hak Atas Kekayaan Intelektual disingkat HAKI dalam Cyber law, termasuk hak cipta, paten, merk, desain industri rahasia dagang, sirkuit terpadu, dan lain-lain.
d.      Standardisasi bidang telematika, penerapannya akan membantu masyarakat untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam menggunakan teknologi informatika.
e.       Aturan di bidang E-Business termasuk di dalamnya perlindungan konsumen dan pelaku bisnis.
f.       Aturan-aturan di bidang E-Government, bila hal ini telah berintegrasi dengan baik, maka efeknya adalah pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik. Aturan tentang jaminan keamanan dan kerahasiaan informasi dalam menggunakan teknologi informasi.
g.      Yurisdiksi hukum, cyber law tidak akan berhasil apabila aspek ini diabaikan.

Kriminalitas dalam cyber law
Kejahatan merupakan perbuatan yang bersifat tindak susila, melanggar norma, mengacaukan, menimbulkan ketidaksenangan dalam kehidupan masyarakat. Kejahatan bukan sekedar mengandung perbuatan melanggar hukum, namun juga termasuk melanggar hak-hak orang lain baik di bidang sosial, ekonomi, dan sebagainya sehingga menimbulkan reaksi masyarakat untuk membenci, menolak atau mereaksi perbuatan tersebut. Tingkat dan ragam kejahatan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Semakin modern dan maju kehidupan masyarakat, semakin maju dan modern pula modus operandi kejahatan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Perubahan dalam suatu masyarakat, pasti akan diikuti oleh perubahan perilaku masyarakatnya-Ada yang dapat menerima, tetapi ada pula yang gagal dalam adaptasi dengan transformasi yang berorientasi dengan penegakan nilai-nilainya positif. Sebagian masyarakat yang dapat menikmati dan menyetujui adanya perubahan, tetapi ada pula yang tidak dapat atau tidak mau menerima perubahan tersebut. Mereka ini yang biasanya berusaha menentang perubahan nila-nilai sehingga melakukan perbuatan melanggar hukum atau yang disebut dengan kriminalitas.
Dalam suatu masyarakat pasti ada peraturan atau hukum (ubi societas, ibi ius). Hukum merupakan sarana untuk mencegah kejahatan hukum dibuat oleh negara yang mempunyai kekuatan memaksa melalui penegak hukum yang harus tegas dan konsisten dalam melaksanakan hukum tersebut. Aparat penegak hukum harus dapat memberdayakan fungsi hukum untuk menanggulangi kejahatan yang makin lama makin maju dan profesional.
Dalam era globalisasi ini warna dan corak perubahan banyak ditawarkan oleh pasar dunia dan bangsa mana pun sehingga masyarakat menemui perbedaan dalam perubahan yang dipenetrasikan. Pada masa sekarang ini perubahan global yang terjadi, yaitu adanya cyber crime yang selalu berkejaran antara tarikan pengaruh global dengan keinginan. Masyarakat dituntut untuk menggunakan atau memanfaatkan teknologi modern atau canggih, namun ada juga yang menyebabkan dampak negatif atau deskriptif.
Kejahatan cyber crime ini terjadi dalam produk teknologi canggih yaitu melalui internet atau komputer. Untuk mengantisipasi berbagai permasalahan seperti cyber crime ini, maka sebagai negara hukum (rechtstaat) harus keberadaan hukum sangat diperlukan untuk mengatur dan mencegah terjadinya cyber crime. Demikian penegak dan penegak hukum harus dapat menjalankan fungsi hukum dengan baik dan tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hukum harus dibuat lebih dahulu sesuai asas mellum selectum mella poena sine previec lege poenali, perbuatan dapat dihukum apabila ada peraturan yang mengatur. Pada kenyataannya kejahatan terjadi dulu, kadang peraturannya belum ada sehingga ada pendapat bahwa hukum selalu ketinggalan zaman.
Upaya yang sedang dilakukan pemerintah pada saat ini dalam menyusun payung hukum ruang cyber melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 memang patut dihargai meskipun belum dapat memenuhi kebetuhan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Masih banyak masalah yang timbul seperti yang telah diungkapkan di depan yaitu tentang yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, asas perdagangan secara e-commerce, asas persaingan usaha tidak sehat (melawan hukum), perlindungan konsumen kekayaan intelektual, hukum internasional, serta asas cyber crime dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008.

Topik-topik Cyberlaw
Secara garis besar ada lima topik dari cyberlaw di setiap negara yaitu :
a.       Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
b.       On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
c.       Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
d.      Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
e.       Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.

Asas-asas Cyberlaw
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang yang biasa digunakan, yaitu :
a.       Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
b.       Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
c.       Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
d.      Passive nationality, yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
e.       Protective principle, yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
f.        Universality, asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking, and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional. Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.

Teori-teori Cyberlaw
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
a.       The Theory of the Uploader and the Downloader. Berdasarkan teori ini, suatu negara apat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan jurisdiksi ini.
b.       The Theory of Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server dimana webpages secara fisik berlokasi, yaitu dimana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing.
c.       The Theory of International Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.

0 komentar: